Evo dan Jogjakarta



“Kami saling pandang tanpa bicara

Sepertinya dia tahu, apa dihatiku tertera
Oh, dan waktu saat itu sungguh mengerti aku
Dan dia berlalu tanpa tau siapa aku…”


Penggalan lirik lagu Evo diputus paksa, karena ada panggilan masuk di telepon genggamku. Sedikit mengganggu kekhusyukan telinga. Disini sudah hampir senyap. Penumpang kereta memang tak semua lelap. Aku misalnya. Yang ribut hanya bunyi laju kereta saja. Menerabas rel-rel tak berujung. Menembus malam menuju fajar.

“Ya. Halo?” sengaja kuatur nada suara setenang mungkin, mencoba menyapa lawan bicaraku diseberang entah.
“Halo? Kamu dimana sekarang?” suaranya terdengar sedikit panik. Hangat menyusup sampai ke rongga dada. Harusnya lelaki ini tak meneleponku tengah malam.
“Aku di perjalanan. Sedang menjauh dari titikmu.”
“Iya, kemana? Pake pamit segala.” ia menyelidik.
“Ngga kemana-mana kok.”
“Berapa lama?”
“Nanti pulang. Kalo perutku ga mules tiap ketemu kamu.”
“Hmm. Itu lagi.”
“Maaf, sudah melampaui batas. Maaf, sudah menyayangimu lebih dari takaran. Maaf, harusnya…”
“Cepet pulang ya. Jangan lama-lama perginya.” selanya.
Aku memutus sambungan telepon. Sementara isi kepalaku abu-abu.

Satu senja, lelaki ini duduk disampingku. Ia karibku. Katanya masing-masing kita akan bertemu lagi di ribuan hari mendatang. Saat uban sudah menggeser warna hitam rambut. Saat cucu-cucu sudah makin lucu-lucu.

“Lucu ya. Kita sahabat sampe kakek nenek. Kau dan suamimu, aku dan istriku. Kita bawa cucu-cucu kita main di taman seperti ini.” katamu sore itu, yang kubalas dengan senyuman.


***


Sudah hampir subuh. Aku tiba di Jogja. Tempat baruku membuang segala perasaan sayang yang melebihi takarnya.

Padanya aku berterus terang, “Apa sahabat tidak pernah bisa menjadi lebih? Aku menyenangi seluruhmu. Cara-caramu. Tatap, oceh, marah, senang, sedihmu, seluruhnya. Senja yang selalu kita habisi bersama dengan banyak dongeng masa depan. Bisakah? Jika tidak, aku pergi dulu. Sebentar saja.”

Kemudian aku menaiki kereta menuju Jogja. Semoga dengan tak banyak-banyak menatapnya dan menjadi telinga ditiap ceritanya, rasaku bisa lebur dan terkubur.

“Aku cukup tau dia… dari sini saja
Aku cukup lihat dia… dari sudut sini saja
Dan aku… sudah bahagaia seperti ini
Dan dia… sudah sempurna…”


Evo menyudahi liriknya. Aku melepas headset ditelinga. Pff!

I’m coming, Jogja! Berdamailah denganku. (2012)

Komentar

Postingan Populer